Sabtu, 31 Desember 2016

Orang Bahagia - Quote

Orang Bahagia Adalah

Orang yang mudah tersenyum dan bersyukur serta tidak merasa ada beban dalam hidupnya,
atau
Orang yang telah melepas semua beban dalam hidupnya untuk lebih sering tersenyum dan bersyukur.



OSCAR Kurichie

Jumat, 30 Desember 2016

Buddha dan Agama Buddha



Buddha dan Agama Buddha

BUDDHA
Buddha (Sanskerta: बुद्ध berarti mereka yang sadar atau yang mencapai pencerahan sejati,[1] dan telah menyadari Empat Kebenaran Mulia secara penuh.
Istilah ini, yang berasal dari bahasa Sanskerta: "Budh" yang bermakna untuk mengetahui), adalah gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama, guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap "Buddha bagi waktu ini"). Dalam penggunaan lain, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya. Tiga jenis golongan Buddha adalah:
Samma-Sambuddha yang mendapat Kesadaran penuh tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri
Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yang menyerupai Samma-Sambuddha, tetapi senantiasa diam dan menyimpan pencapaian Dharma pada diri sendiri.
Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma.
Kitab Suci agama Buddha adalah Tripitaka (dalam bahasa Sansekerta) atau Tipitaka (bahasa Pali).


AGAMA BUDDHA atau BUDDHISME

Agama Buddha atau Buddhisme adalah sebuah agama nonteistik atau filsafat (Sanskrit: dharma; Pali: धम्म dhamma) yang berasal dari anak benua India yang meliputi beragam tradisi, kepercayaan, dan praktik spiritual yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal sebagai Sang Buddha (berarti "yang telah sadar"). Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Dia dikenal oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri penderitaan mereka dengan melenyapkan ketidaktahuan/kebodohan/kegelapan batin (moha), keserakahan (lobha), dan kebencian/kemarahan (dosa). Berakhirnya atau padamnya moha, lobha, dan dosa disebut dengan Nibbana. Untuk mencapai Nibbana seseorang melakukan perbuatan benar, tidak melakukan perbuatan salah, mempraktikkan meditasi untuk menjaga pikiran agar selalu pada kondisi yang baik atau murni dan mampu memahami fenomena batin dan jasmani.

Dua aliran utama Buddhisme yang masih ada yang diakui secara umum oleh para ahli: Theravada ("Aliran Para Sesepuh") dan Mahayana ("Kendaraan Agung"). Vajrayana, suatu bentuk ajaran yang dihubungkan dengan siddha India, dapat dianggap sebagai aliran ketiga atau hanya bagian dari Mahayana. Theravada mempunyai pengikut yang tersebar luas di Sri Lanka, dan Asia Tenggara. Mahayana, yang mencakup tradisi Tanah Murni, Zen, Nichiren, Shingon, dan Tiantai (Tiendai) dapat ditemukan di seluruh Asia Timur. Buddhisme Tibet, yang melestarikan ajaran Vajrayana dari India abad ke-8, dipraktikkan di wilayah sekitar Himalaya, Mongolia, dan Kalmykia. Jumlah umat Buddha di seluruh dunia diperkirakan antara 488 juta dan 535 juta, menjadikannya sebagai salah satu agama utama dunia.
Dalam Buddhisme Theravada, tujuan utamanya adalah pencapaian kebahagiaan tertinggi Nibbana, yang dicapai dengan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (juga dikenal sebagai Jalan Tengah), sehingga melepaskan diri dari apa yang dinamakan sebagai siklus penderitaan dan kelahiran kembali. Buddhisme Mahayana, sebaliknya beraspirasi untuk mencapai kebuddhaan melalui jalan bodhisattva, suatu keadaan di mana seseorang tetap berada dalam siklus untuk membantu makhluk lainnya mencapai pencerahan.

Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai referensi utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam tiga buku yaitu Sutta Piṭaka (khotbah-khotbah Sang Buddha), Vinaya Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

Seluruh naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di sebagian India (khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Tipitaka, oleh karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali" sinonim dengan agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajaran-Nnya dalam bahasa Pali, di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidup-Nya, sebelum Dia mencapai Parinibbana.

Seluruh naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka. Oleh karena itu istilah agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang dipergunakan oleh kaum terpelajar di India. Selain naskah agama Buddha Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta.


SEJARAH

Akar filosofis

Secara historis, akar Buddhisme terletak pada pemikiran religius dari India kuno selama paruh kedua dari milenium pertama SEU. Pada masa tersebut merupakan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan, dikarenakan ketidakpuasaan yang signifikan terhadap pengorbanan dan rital-ritual dari Brahmanisme Weda Tantangan muncul dari berbagai kelompok keagamaan asketis dan filosofis baru yang memungkiri tradisi Brahamanis dan menolak otoritas Weda dan para Brahmana. Kelompok-kelompok ini, yang anggotanya dikenal sebagai sramana, merupakan kelanjutan dari sebuah untaian pemikiraan India yang bersifat non-Weda, yang terpisah dari Brahmanisme Indo-Arya. Para ahli memiliki alasan untuk percaya bahwa ide-ide seperti samsara, karma (dalam hal pengaruh moralitas terhadap kelahiran kembali), dan moksha, berasal dari sramana, dan kemudian diadopsi oleh agama ortodoks Brahmin.

Pandangan ini didukung oleh penelitian di wilayah di mana gagasan ini berasal. Buddhisme tumbuh di Magadha Raya, yang terletak di sebelah barat laut dari Sravasti, ibu kota Kosala, ke Rajagraha di sebelah tenggara. Negeri ini, di sebelah timur aryavarta, negeri bangsa Arya, yang dikenal sebagai non-Weda. Naskah Weda lainnya mengungkap ketidaksukaan penduduk Magadha, kemungkinannya karena Magadha pada masa tersebut belum mendapat pengaruh Brahmanisme. Sebelum abad ke-2 atau ke-3 SEU, penyebaran Brahmanisme ke arah timur memasuki Magadha Raya tidaklah signifikan. Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Magadha Raya sebelum abad tersebut tidak tunduk pada pengaruh Weda. Ini termasuk tumimbal lahir dan hukum karma yang muncul dalam sejumlah gerakan di Magadha Raya, termasuk Buddhisme. Gerakan-gerakan ini mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan hukum karma dari kebudayaan yang lebih awal.

Pada saat yang sama, gerakan-gerakan ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal melanjutkan pemikiran filosofis dalam tradisi Weda, sebagaimana terefleksi misalnya di dalam Upanishad. Gerakan-gerakan ini termasuk, selain Buddhisme, berbagai skeptis (seperti Sanjaya Belatthiputta), atomis (seperti Pakudha Kaccayana), materialis (seperti Ajita Kesakambali), antinomian (seperti Purana Kassapa); aliran-aliran terpenting pada abad ke-5 SEU adalah Ajivikas, yang menekankan aturan nasib, Lokayata (materialis), Ajnanas (agnostik) dan Jaina, yang menekankan bahwa jiwa harus dibebaskan dari materi. Banyak gerakan-gerakan baru ini berbagi kosa kata konseptual yang sama seperti atman ("diri"), buddha ("yang sadar"), dhamma ("aturan" atau "hukum"), karma ("aksi/perbuatan"), nirvana ("padamnya nafsu"), samsara ("lingkaran penderitaan"), dan yoga ("praktik spiritual"). Para sramana menolak Weda, dan otoritas brahmana, yang mengklaim mereka memiliki kebenaran terungkap yang tidak bisa diketahui dengan cara manusia biasa mana pun. Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh sistem Brahmanikal adalah penipuan : sebuah konspirasi para brahmana untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan membebankan biaya terlalu tinggi untuk melakukan ritual palsu dan memberikan nasihat tak berguna.

Kritik terutama dari Buddha adalah pengorbanan hewan secara Weda. Dia juga menyindir "gita manusia kosmis" dari Weda. Namun, Sang Buddha tidaklah anti-Weda, dan menyatakan bahwa Weda dalam bentuk sejatinya dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada resi tertentu, yang melalui pertapaan berat telah memperoleh kekuatan untuk melihat dengan mata ilahi. Dia menamakan para resi Weda, dan menyatakan bahwa Weda orisinil dari para resi telah diubah oleh beberapa Brahmin yang memperkenalkan pengorbanan hewan. Sang Buddha mengatakan bahwa hal tersebut termasuk dalam pengubahan dari Weda sejati sehingga dia menolak untuk menghormati Weda pada masanya. Namun, dia tidak meninggalkan ikatan dengan Brahman, atau gagasan diri menyatu dengan Tuhan. Pada saat yang sama, Hindu tradisional sendiri secara bertahap mengalami perubahan mendalam, bertransformasi menjadi apa yang dikenal sebagai Hindu awal.


DOKTRIN DASAR AJARAN BUDDHA

Empat Kebenaran Mulia

Ajaran dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia sampaikan kepada lima orang bhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai Empat Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya Beruas Delapan.

Empat Kebenaran Ariya tersebut adalah :
1.      Kebenaran Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)
Pada umumnya dukkha dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban. Dukkha menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan. Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha bersabda, "Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu : kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha, kematian adalah dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus asa adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha, berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha."
2.      Kebenaran Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca)
Samudaya adalah sebab. Setiap penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya : yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan adalah tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru rasa haus tersebut semakin bertambah.
3.      Kebenaran Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.
4.      Kebenaran Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Marga adalah jalan pelepasan. Jalan pelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari kesengsaraan.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan bahwa ada jalan atau cara untuk menghentikan dukkha, yakni melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Jalan Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

1.      Kebijaksanaan (Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan Pikiran Benar (sammä-sankappa)
2.      Kemoralan (Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar (sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
3.      Konsentrasi (Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma), Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
4.       
Empat Kebenaran Mulia tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu dengan Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Mulia bukanlah ajaran yang bersifat pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan, tetapi merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisa yang diambil dari kehidupan di sekitar kita.

Jalan Mulia Berunsur Delapan
Dalam Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Di dalam Jalan ini mengandung unsur sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).

Berikut pengelompokan unsur yang terkandung di dalamnya :

Divisi
Faktor Berunsur Delapan
Sanskrit, Pali
Kebijaksanaan
(Sanskrit: prajñā,
Pāli: paññā)
1. Pengertian (Pandangan) Benar
samyag dṛṣṭi,
sammā ditthi
2. Pikiran Benar
samyag saṃkalpa,
sammā sankappa
Perilaku Etis
(Sanskrit: śīla,
Pāli: sīla)
3. Ucapan Benar
samyag vāc,
sammā vāca
4. Perbuatan Benar
samyag karman,
sammā kammanta
5. Pencaharian (Penghidupan) Benar
samyag ājīvana,
sammā ājīva
Konsentrasi
(Sanskrit and Pāli: samādhi)
6. Daya upaya Benar
samyag vyāyāma,
sammā vāyāma
7. Perhatian Benar
samyag smṛti,
sammā sati
8. Konsentrasi Benar
samyag samādhi,
sammā samādhi
Jalan Mulia Berunsur Delapan dibabarkan sebagai berikut :
1. Pengertian Benar (Sammã Ditthi)
Pemahaman Benar adalah pengetahuan yang disertai dengan penembusan terhadap
a. Empat Kebenaran Mulia
b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
c. Hukum Paticca-Samuppäda
d. Hukum Kamma
2. Pikiran Benar (Sammã Sankappa)
Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas dari:
a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu keduniawian (nekkhamma-sankappa)
b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)
3. Ucapan Benar (Sammã Vãca)
Ucapan Benar adalah berusaha menahan diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar/caci maki (pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat/pergunjingan (samphappalãpã). Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat di bawah ini :
a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada waktunya
4. Perbuatan Benar (Sammã Kammantã)
Perbuatan Benar adalah berusaha menahan diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan melakukan perbuatan seksualitas yang tidak dibenarkan (asusila), perkataan tidak benar, dan penggunaan cairan atau obat-obatan yang menimbulkan ketagihan dan melemahkan kesadaran.
5. Penghidupan Benar (Sammã Ãjiva)
Penghidupan Benar berarti menghindarkan diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan kerugian atau penderitaan makhluk lain. "Terdapat lima objek perdagangan yang seharusnya dihindari (Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:
a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup
d. minum-minuman yang memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan,
e. racun
Dan terdapat pula lima pencaharian salah yang harus dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidaksetiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang tinggi (praktik lintah darat)
6. Usaha Benar (Sammã Vãyama)
Usaha Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu: berusaha mencegah munculnya kejahatan baru, berusaha menghancurkan kejahatan yang sudah ada, berusaha mengembangkan kebaikan yang belum muncul, berusaha memajukan kebaikan yang telah ada.
7. Perhatian Benar (Sammã Sati)
Perhatian Benar dapat diwujudkan dalam empat bentuk tindakan, yaitu:
- perhatian penuh terhadap badan jasmani (kãyãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap perasaan (vedanãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap pikiran (cittanupassanã)
- perhatian penuh terhadap mental/batin (dhammanupassanã)
Keempat bentuk tindakan tersebut bisa disebut sebagai Vipassanã Bhãvanã.
8. Konsentrasi Benar (Sammã Samãdhi)
Konsentrasi Benar berarti pemusatan pikiran pada objek yang tepat sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih tinggi dan lebih dalam.


Karma

Selain nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip hukum sebab akibat. Secara umum, kamma (bahasa Pali) atau karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi. Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini, istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya.
Umat Buddha memandang hukum karma sebagai hukum universal tentang sebab dan akibat yang juga merupakan hukum moral yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup, yang tidak hidup, maupun yang abstrak atau yang ada karena kita buat dalam pikiran sebagai ide) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau makhluk yang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu.

Buddha dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti dari kamma :
"Para bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran."
Jadi, kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).
Kamma atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang bekerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma Vipaka.

Dalam Samuddaka Sutta; Samyutta Nikaya 11.10 {S 1.227}, Guru Buddha menjelaskan cara bekerjanya kamma : "Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah daripadanya".


Kelahiran Kembali

Kelahiran kembali (Pali : Punabbhava) merupakan 'suatu proses menjadi ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia meninggal/mati) sehingga lahir (jati), di mana proses ini merupakan akibat atau hasil dari kamma (perbuatan)nya pada kehidupan lampau. Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati.

Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apa pun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya Tanha (keinginan/kehausan) dan juga Avijja (ketidaktahuan/kebodohan).


Konsep Ketuhanan dalam Buddhisme

Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi di mana alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal.

Ketahuilah para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
— Sutta Pitaka, Udana VIII : 3

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana VIII:3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.

Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Bila kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula. Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain antara lain adalah konsep-konsep tentang alam semesta, terbentuknya Bumi dan manusia, kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan Keselamatan atau Kebebasan.

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati di mana satu makhluk tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.


Moralitas dalam ajaran Buddha

Sebagaimana agama Kristen, Islam, dan Hindu, ajaran Buddha juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan.

Moralitas dalam ajaran Buddha bertujuan praktis menuntun orang menjuju tujuan akhir kebahagiaan tertinggi. Dalam jalan umat Buddha menuju pembebasan, setiap individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kemalangannya sendiri. Setiap individu diharapkan mengupayakan pembebasannya sendiri melalui pemahaman dan usaha. Keselamatan umat Buddha adalah hasil pemgembangan moral orang itu sendiri dan tidak dapat diadakan atau diberikan kepada seseorang oleh suatu perantara eksternal. Misi Sang Budda adalah untuk mencerahkan manusia akan sifat keberadaan dan untuk menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk kebahagiaan mereka dan keuntungan orang lain. Secara konsekuen, etika umat Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk mengikutinya.

Moralitas bagi umat Buddha dapat dirangkum dalam tiga prinsip sederhana : "Hindarkan kejahatan; lakukan kebaikan; sucikan pikiran. Inilah nasihat yang diberikan oleh semua Buddha." (Dhammapada:183)


Lima Sila (Pancasila)

Nilai-nilai kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk umat awam adalah :

Panatipata Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Kamesu Micchacara Veramani Sikhapadami.
Musavada Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Surameraya Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami.

Yang artinya:

Aku bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak diberikan.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perkataan dusta.
Aku bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.


ALIRAN dan TRADISI Ajaran Buddha

Umat Buddha secara umum mengklasifikasikan diri mereka sebagai Theravada atau Mahayana. Klasifikasi ini juga digunakan oleh beberapa ahli dan merupakan salah satu penggunaan yang lazim dalam bahasa Inggris.


Buddha Mahayana

Sutra Teratai merupakan Referensi sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.

Pemujaan kepada Buddha Amitabha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana. Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha di mana mereka tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir dan dari sana menolong semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.

Mereka mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan di mana kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
Seorang Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan kepada pengamalnya.

Menurut Buddha Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci - intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya .


Buddha Theravada

Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang bertahan sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Lanka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.

Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5. Diyakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

Sejarah Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha. Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).

Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu. Tujuan Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Sidang Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , di mana awal Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.

Sidang Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja Asoka) membawa Tipitaka ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.

Kitab suci yang dipergunakan dalam agama Buddha Theravada adalah kitab suci Tripitaka yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali/Magadhi Kuno, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai "pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya Pitaka, Sutta Piṭaka, dan Abhidhamma Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).

HARI RAYA

Terdapat empat hari raya utama dalam agama Buddha. Namun satu-satunya yang dikenal luas masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia setiap tahunnya.

Waisak

Penganut Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa. Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali "Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan "Waishakha" dari bahasa Sanskerta

Kathina

Hari raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama Buddha.

Asadha

Kebaktian untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna memperingati peristiwa di mana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588 Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya. Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588 Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).

Tiratana atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha. Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.

Khotbah pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma. Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani ) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.

Magha Puja

Hari Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang kesemuanya arahat tersebut ditabiskan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi Bhikkhu:Bhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh sang Buddha), yang kehadirannya itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah agama Buddha disebut Vihara.


Sumber -  https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha