Buddha dan Agama Buddha
BUDDHA
Buddha
(Sanskerta: बुद्ध berarti mereka yang sadar
atau yang mencapai pencerahan sejati,[1] dan telah
menyadari Empat Kebenaran Mulia secara penuh.
Istilah
ini, yang berasal dari bahasa Sanskerta: "Budh" yang bermakna untuk
mengetahui), adalah gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh
mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan
kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta
Gautama, guru agama dan pendiri Agama
Buddha (dianggap "Buddha bagi waktu ini"). Dalam penggunaan lain,
ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut
Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama
atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang
bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan
manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus
(tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana
(nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha
menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Tiga jenis golongan Buddha adalah:
Samma-Sambuddha yang mendapat
Kesadaran penuh tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri
Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha
yang menyerupai Samma-Sambuddha, tetapi senantiasa diam dan menyimpan
pencapaian Dharma pada diri sendiri.
Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut
kesadaran), tetapi mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma.
AGAMA BUDDHA
atau BUDDHISME
Agama
Buddha atau Buddhisme adalah sebuah agama nonteistik
atau filsafat (Sanskrit:
dharma; Pali:
धम्म dhamma)
yang berasal dari anak benua India yang meliputi beragam tradisi, kepercayaan, dan praktik
spiritual yang sebagian besar berdasarkan pada ajaran yang dikaitkan dengan Siddhartha Gautama, yang secara umum dikenal
sebagai Sang Buddha (berarti "yang telah sadar"). Menurut tradisi
Buddhis, Sang Buddha hidup dan mengajar di bagian timur anak benua India dalam
beberapa waktu antara abad ke-6 sampai ke-4 SEU (Sebelum Era Umum). Dia dikenal
oleh para umat Buddha sebagai seorang guru yang telah sadar atau tercerahkan
yang membagikan wawasan-Nya untuk membantu makhluk hidup mengakhiri penderitaan mereka
dengan melenyapkan ketidaktahuan/kebodohan/kegelapan batin (moha),
keserakahan (lobha), dan kebencian/kemarahan (dosa). Berakhirnya
atau padamnya moha, lobha, dan dosa disebut dengan Nibbana. Untuk mencapai
Nibbana seseorang melakukan perbuatan benar, tidak melakukan perbuatan salah,
mempraktikkan meditasi untuk menjaga pikiran agar selalu pada kondisi yang baik
atau murni dan mampu memahami fenomena batin dan jasmani.
Dua
aliran utama Buddhisme yang masih ada yang diakui secara umum oleh para ahli: Theravada
("Aliran Para Sesepuh") dan Mahayana
("Kendaraan Agung"). Vajrayana, suatu bentuk ajaran yang dihubungkan dengan siddha
India, dapat dianggap sebagai aliran ketiga atau hanya bagian dari
Mahayana. Theravada mempunyai pengikut yang tersebar luas di Sri Lanka,
dan Asia
Tenggara. Mahayana, yang mencakup tradisi Tanah Murni, Zen, Nichiren, Shingon, dan Tiantai
(Tiendai) dapat ditemukan di seluruh Asia Timur.
Buddhisme
Tibet, yang melestarikan ajaran Vajrayana dari India abad ke-8,
dipraktikkan di wilayah sekitar Himalaya, Mongolia, dan Kalmykia.
Jumlah umat Buddha di seluruh dunia diperkirakan antara 488 juta dan 535 juta,
menjadikannya sebagai salah satu agama utama dunia.
Dalam
Buddhisme Theravada, tujuan utamanya adalah pencapaian kebahagiaan tertinggi Nibbana, yang
dicapai dengan mempraktikkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (juga
dikenal sebagai Jalan Tengah), sehingga melepaskan diri dari apa yang
dinamakan sebagai siklus penderitaan dan
kelahiran
kembali. Buddhisme Mahayana, sebaliknya beraspirasi untuk mencapai kebuddhaan
melalui jalan bodhisattva, suatu keadaan di mana seseorang tetap berada
dalam siklus untuk membantu makhluk lainnya mencapai pencerahan.
Setiap
aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai referensi utama karena dalamnya tercatat
sabda dan ajaran Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan
mengklasifikasikan ajarannya dalam tiga buku yaitu Sutta
Piṭaka (khotbah-khotbah Sang Buddha), Vinaya
Piṭaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piṭaka (ajaran hukum metafisika
dan psikologi).
Seluruh
naskah aliran Theravada menggunakan bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai di
sebagian India (khususnya daerah Utara) pada zaman Sang Buddha. Cukup menarik
untuk dicatat, bahwa tidak ada filsafat atau tulisan lain dalam bahasa Pali
selain kitab suci agama Buddha Theravada, yang disebut kitab suci Tipitaka, oleh
karenanya, istilah "ajaran agama Buddha berbahasa Pali" sinonim
dengan agama Buddha Theravada. Agama Buddha Theravada dan beberapa sumber lain
berpendapat, bahwa Sang Buddha mengajarkan semua ajaran-Nnya dalam bahasa Pali,
di India, Nepal dan sekitarnya selama 45 tahun terakhir hidup-Nya, sebelum Dia
mencapai Parinibbana.
Seluruh
naskah aliran Mahayana pada awalnya berbahasa Sansekerta dan dikenal sebagai Tripitaka.
Oleh karena itu istilah agama Buddha berbahasa Sansekerta sinonim dengan agama
Buddha Mahayana. Bahasa Sansekerta adalah bahasa klasik dan bahasa tertua yang
dipergunakan oleh kaum terpelajar di India. Selain naskah agama Buddha
Mahayana, kita menjumpai banyak catatan bersejarah dan agama, atau naskah
filsafat tradisi setempat lainnya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
SEJARAH
Akar filosofis
Secara
historis, akar Buddhisme terletak pada pemikiran religius dari India
kuno selama paruh kedua dari milenium pertama SEU. Pada masa tersebut
merupakan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan, dikarenakan
ketidakpuasaan yang signifikan terhadap pengorbanan dan rital-ritual dari Brahmanisme Weda
Tantangan muncul dari berbagai kelompok keagamaan asketis dan
filosofis baru yang memungkiri tradisi Brahamanis dan menolak otoritas Weda dan para Brahmana.
Kelompok-kelompok ini, yang anggotanya dikenal sebagai sramana,
merupakan kelanjutan dari sebuah untaian pemikiraan India yang bersifat non-Weda,
yang terpisah dari Brahmanisme Indo-Arya. Para ahli memiliki alasan untuk percaya bahwa
ide-ide seperti samsara,
karma (dalam hal pengaruh moralitas terhadap kelahiran kembali), dan moksha, berasal
dari sramana, dan kemudian diadopsi oleh agama ortodoks Brahmin.
Pandangan
ini didukung oleh penelitian di wilayah di mana gagasan ini berasal. Buddhisme
tumbuh di Magadha
Raya, yang terletak di sebelah barat laut dari Sravasti, ibu kota Kosala, ke Rajagraha di sebelah tenggara.
Negeri ini, di sebelah timur aryavarta, negeri bangsa Arya, yang dikenal
sebagai non-Weda. Naskah Weda lainnya mengungkap ketidaksukaan penduduk
Magadha, kemungkinannya karena Magadha pada masa tersebut belum mendapat
pengaruh Brahmanisme. Sebelum abad ke-2 atau ke-3 SEU, penyebaran Brahmanisme
ke arah timur memasuki Magadha Raya tidaklah signifikan. Pemikiran-pemikiran
yang berkembang di Magadha Raya sebelum abad tersebut tidak tunduk pada
pengaruh Weda. Ini termasuk tumimbal
lahir dan hukum karma yang muncul dalam sejumlah gerakan di Magadha Raya,
termasuk Buddhisme. Gerakan-gerakan ini mewarisi pemikiran tumimbal lahir dan
hukum karma dari kebudayaan yang lebih awal.
Pada
saat yang sama, gerakan-gerakan ini dipengaruhi dan dalam beberapa hal
melanjutkan pemikiran filosofis dalam tradisi Weda, sebagaimana terefleksi
misalnya di dalam Upanishad. Gerakan-gerakan ini termasuk, selain Buddhisme,
berbagai skeptis
(seperti Sanjaya Belatthiputta),
atomis
(seperti Pakudha Kaccayana), materialis
(seperti Ajita Kesakambali), antinomian
(seperti Purana Kassapa);
aliran-aliran terpenting pada abad ke-5 SEU adalah Ajivikas, yang menekankan aturan
nasib, Lokayata (materialis),
Ajnanas (agnostik)
dan Jaina,
yang menekankan bahwa jiwa harus dibebaskan dari materi. Banyak gerakan-gerakan
baru ini berbagi kosa kata konseptual yang sama seperti atman
("diri"), buddha ("yang sadar"), dhamma
("aturan" atau "hukum"), karma
("aksi/perbuatan"), nirvana ("padamnya
nafsu"), samsara
("lingkaran penderitaan"), dan yoga ("praktik spiritual").
Para sramana menolak Weda, dan otoritas brahmana, yang mengklaim mereka
memiliki kebenaran terungkap yang tidak bisa diketahui dengan cara manusia
biasa mana pun. Selain itu, mereka menyatakan bahwa seluruh sistem Brahmanikal
adalah penipuan : sebuah konspirasi para brahmana untuk memperkaya diri
mereka sendiri dengan membebankan biaya terlalu tinggi untuk melakukan ritual
palsu dan memberikan nasihat tak berguna.
Kritik
terutama dari Buddha adalah pengorbanan hewan secara Weda. Dia juga menyindir
"gita manusia kosmis"
dari Weda. Namun, Sang Buddha tidaklah anti-Weda, dan menyatakan bahwa Weda
dalam bentuk sejatinya dinyatakan oleh "Kashyapa" kepada resi tertentu, yang
melalui pertapaan berat telah memperoleh kekuatan untuk melihat dengan mata
ilahi. Dia menamakan para resi Weda, dan menyatakan bahwa Weda orisinil dari
para resi telah diubah oleh beberapa Brahmin yang memperkenalkan pengorbanan
hewan. Sang Buddha mengatakan bahwa hal tersebut termasuk dalam pengubahan dari
Weda sejati sehingga dia menolak untuk menghormati Weda pada masanya. Namun, dia
tidak meninggalkan ikatan dengan Brahman, atau gagasan diri menyatu dengan
Tuhan. Pada saat yang sama, Hindu tradisional sendiri secara bertahap mengalami
perubahan mendalam, bertransformasi menjadi apa yang dikenal sebagai Hindu awal.
DOKTRIN DASAR
AJARAN BUDDHA
Empat Kebenaran
Mulia
Ajaran
dasar Buddhisme dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia atau Empat Kebenaran
Ariya (Cattari Ariya Saccani), yang merupakan aspek yang sangat penting
dari ajaran Buddha. Sang Buddha telah berkata bahwa karena kita tidak memahami
Empat Kebenaran Ariya, maka kita terus menerus mengitari siklus kelahiran dan
kematian. Pada ceramah pertama Sang Buddha, Dhammacakka Sutta, yang Ia
sampaikan kepada lima orang bhikkhu di Taman Rusa di Sarnath, adalah mengenai
Empat Kebenaran Ariya dan Jalan Ariya Beruas Delapan.
Empat
Kebenaran Ariya tersebut adalah :
1.
Kebenaran
Ariya tentang Dukkha (Dukkha Ariya Sacca)
Pada umumnya dukkha dalam bahasa
Indonesia diartikan sebagai penderitaan, ketidakpuasan, beban. Dukkha
menjelaskan bahwa ada lima kemelekatan kepada dunia yang merupakan penderitaan.
Kelima hal itu adalah kelahiran, umur tua, sakit, mati, disatukan dengan yang
tidak dikasihi, dan tidak mencapai yang diinginkan. Guru Buddha bersabda,
"Sekarang, O, para bhikkhu, Kebenaran Ariya tentang Dukkha, yaitu :
kelahiran adalah dukkha, usia tua adalah dukkha, penyakit adalah dukkha,
kematian adalah dukkha, sedih, ratap tangis, derita (badan), dukacita, putus
asa adalah dukkha; berkumpul dengan yang tidak disenangi adalah dukkha,
berpisah dari yang dicintai adalah dukkha, tidak memperoleh apa yang diinginkan
adalah dukkha. Singkatnya Lima Kelompok Kemelekatan merupakan dukkha."
2.
Kebenaran
Ariya tentang Asal Mula Dukkha (Dukkha Samudaya Ariya Sacca)
Samudaya adalah sebab. Setiap
penderitaan pasti memiliki sebab, contohnya : yang menyebabkan orang
dilahirkan kembali adalah adanya keinginan kepada hidup.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan
bahwa sumber dari dukkha atau penderitaan adalah tanhâ, yaitu nafsu keinginan yang
tidak ada habis-habisnya. Tanha dapat diibaratkan seperti candu atau opium yang
menimbulkan dampak ketagihan bagi yang memakainya terus-menerus, dan semakin
lama akan merusak fisik maupun mental si pemakai. Tanha juga dapat diibaratkan
seperti air laut yang asin yang jika diminum untuk menghilangkan haus justru
rasa haus tersebut semakin bertambah.
3.
Kebenaran
Ariya tentang Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya Sacca)
Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman
kesengsaraan dapat dilakukan dengan menghapus keinginan secara sempurna
sehingga tidak ada lagi tempat untuk keinginan tersebut.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan
bahwa dukkha bisa dihentikan yaitu dengan cara menyingkirkan tanhä sebagai
penyebab dukkha. Ketika tanhä telah disingkirkan, maka kita akan terbebas dari
semua penderitaan (bathin). Keadaan ini dinamakan Nibbana.
4.
Kebenaran
Ariya tentang Jalan yang Menuju Terhentinya Dukkha (Dukkha Nirodha Ariya
Sacca)
Marga adalah jalan pelepasan. Jalan
pelepasan merupakan cara-cara yang harus ditempuh kalau kita ingin lepas dari
kesengsaraan.
Pada bagian ini Guru Buddha menjelaskan
bahwa ada jalan atau cara untuk menghentikan dukkha, yakni melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Jalan
Menuju Terhentinya Dukkha dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu :
1.
Kebijaksanaan
(Panna), terdiri dari Pengertian Benar (sammä-ditthi) dan Pikiran
Benar (sammä-sankappa)
2.
Kemoralan
(Sila), terdiri dari Ucapan Benar (sammä-väcä), Perbuatan Benar
(sammä-kammanta), dan Pencaharian Benar (sammä-ajiva)
3.
Konsentrasi
(Samädhi), terdiri dari Daya-upaya Benar (sammä-väyäma),
Perhatian Benar (sammä-sati), dan Konsentrasi Benar (sammä-samädhi)
4.
Empat
Kebenaran Mulia tidak dapat dipisahkan antara Kebenaran yang satu dengan
Kebenaran yang lainnya. Empat Kebenaran Mulia bukanlah ajaran yang bersifat
pesimis yang mengajarkan hal-hal yang serba suram dan serba menderita. Dan juga
bukan bersifat optimis yang hanya mengajarkan hal-hal yang penuh harapan,
tetapi merupakan ajaran yang realitis, ajaran yang berdasarkan analisa yang
diambil dari kehidupan di sekitar kita.
Jalan Mulia
Berunsur Delapan
Dharmacakra melambangkan Jalan Mulia Berunsur Delapan
Dalam
Dhammacakkappavattana Sutta; Samyutta Nikaya 56.11 {S 5.420}, Guru
Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Ariya kepada Lima Bhikkhu Pertama (Panca
Vaggiya Bhikkhu), yang di dalamnya terdapat Jalan yang Menuju Terhentinya
Dukkha. Jalan itu disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya
Atthangiko Magga). Di dalam Jalan ini mengandung unsur sila
(kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).
Berikut
pengelompokan unsur yang terkandung di dalamnya :
Divisi
|
Faktor
Berunsur Delapan
|
Sanskrit,
Pali
|
Kebijaksanaan
(Sanskrit: prajñā, Pāli: paññā) |
1.
Pengertian (Pandangan) Benar
|
samyag
dṛṣṭi,
sammā ditthi |
2.
Pikiran Benar
|
samyag
saṃkalpa,
sammā sankappa |
|
Perilaku
Etis
(Sanskrit: śīla, Pāli: sīla) |
3.
Ucapan Benar
|
samyag
vāc,
sammā vāca |
4.
Perbuatan Benar
|
samyag
karman,
sammā kammanta |
|
5.
Pencaharian (Penghidupan) Benar
|
samyag
ājīvana,
sammā ājīva |
|
Konsentrasi
(Sanskrit and Pāli: samādhi) |
6.
Daya upaya Benar
|
samyag
vyāyāma,
sammā vāyāma |
7.
Perhatian Benar
|
samyag
smṛti,
sammā sati |
|
8.
Konsentrasi Benar
|
samyag
samādhi,
sammā samādhi |
Jalan
Mulia Berunsur Delapan dibabarkan sebagai berikut :
1. Pengertian Benar (Sammã Ditthi)
1. Pengertian Benar (Sammã Ditthi)
Pemahaman Benar adalah pengetahuan yang
disertai dengan penembusan terhadap
a. Empat Kebenaran Mulia
b. Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum)
c. Hukum Paticca-Samuppäda
d. Hukum Kamma
2.
Pikiran Benar (Sammã Sankappa)
Pikiran Benar adalah pikiran yang bebas
dari:
a. Pikiran yang bebas dari nafsu-nafsu
keduniawian (nekkhamma-sankappa)
b. Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa)
c. Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa)
3.
Ucapan Benar (Sammã Vãca)
Ucapan Benar adalah berusaha menahan
diri dari berbohong (musãvãdã), memfitnah (pisunãvãcã), berucap kasar/caci maki
(pharusavãcã), dan percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat/pergunjingan
(samphappalãpã). Dapat dinamakan Ucapan Benar, jika dapat memenuhi empat syarat
di bawah ini :
a. Ucapan itu benar
b. Ucapan itu beralasan
c. Ucapan itu berfaedah
d. Ucapan itu tepat pada waktunya
4.
Perbuatan Benar (Sammã Kammantã)
Perbuatan Benar adalah berusaha menahan
diri dari pembunuhan, pencurian, perbuatan melakukan perbuatan seksualitas yang
tidak dibenarkan (asusila), perkataan tidak benar, dan penggunaan cairan atau
obat-obatan yang menimbulkan ketagihan dan melemahkan kesadaran.
5.
Penghidupan Benar (Sammã Ãjiva)
Penghidupan Benar berarti menghindarkan
diri dari bermata pencaharian yang menyebabkan kerugian atau penderitaan
makhluk lain. "Terdapat lima objek perdagangan yang seharusnya dihindari
(Anguttara Nikaya, III, 153), yaitu:
a. makhluk hidup
b. senjata
c. daging atau segala sesuatu yang
berasal dari penganiayaan mahluk-mahluk hidup
d. minum-minuman yang memabukkan atau
yang dapat menimbulkan ketagihan,
e. racun
Dan terdapat pula lima pencaharian salah
yang harus dihindari (Majjima Nikaya. 117), yaitu:
a. Penipuan
b. Ketidaksetiaan
c. Penujuman
d. Kecurangan
e. Memungut bunga yang tinggi (praktik
lintah darat)
6.
Usaha Benar (Sammã Vãyama)
Usaha Benar dapat diwujudkan dalam empat
bentuk tindakan, yaitu: berusaha mencegah munculnya kejahatan baru, berusaha
menghancurkan kejahatan yang sudah ada, berusaha mengembangkan kebaikan yang
belum muncul, berusaha memajukan kebaikan yang telah ada.
7.
Perhatian Benar (Sammã Sati)
Perhatian Benar dapat diwujudkan dalam
empat bentuk tindakan, yaitu:
- perhatian penuh terhadap badan jasmani
(kãyãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap perasaan
(vedanãnupassanã)
- perhatian penuh terhadap pikiran
(cittanupassanã)
- perhatian penuh terhadap mental/batin
(dhammanupassanã)
Keempat bentuk tindakan tersebut bisa
disebut sebagai Vipassanã Bhãvanã.
8.
Konsentrasi Benar (Sammã Samãdhi)
Konsentrasi Benar berarti pemusatan
pikiran pada objek yang tepat sehingga batin mencapai suatu keadaan yang lebih
tinggi dan lebih dalam.
Karma
Selain
nilai-nilai moral di atas, agama Buddha juga amat menjunjung tinggi karma
sebagai sesuatu yang berpegang pada prinsip hukum sebab akibat. Secara umum,
kamma (bahasa Pali) atau karma (bahasa Sanskerta) berarti perbuatan atau aksi.
Jadi ada aksi atau karma baik dan ada pula aksi atau karma buruk. Saat ini,
istilah karma sudah terasa umum digunakan, namun cenderung diartikan secara
keliru sebagai hukuman turunan/hukuman berat dan lain sebagainya.
Umat
Buddha memandang hukum karma sebagai hukum universal tentang sebab dan akibat
yang juga merupakan hukum moral yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu
(yang hidup, yang tidak hidup, maupun yang abstrak atau yang ada karena kita
buat dalam pikiran sebagai ide) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada
sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau
makhluk yang muncul tanpa ada sebab lebih dahulu.
Buddha
dalam Nibbedhika Sutta; Anguttara Nikaya 6.63 menjelaskan secara jelas arti
dari kamma :
"Para
bhikkhu, cetana (kehendak)lah yang kunyatakan sebagai kamma. Setelah
berkehendak, orang melakukan suatu tindakan lewat tubuh, ucapan atau
pikiran."
Jadi,
kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun
buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci)
dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).
Kamma
atau sering disebut sebagai Hukum Kamma merupakan salah satu hukum alam yang
bekerja berdasarkan prinsip sebab akibat. Selama suatu makhluk berkehendak,
melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab maka akan menimbulkan akibat atau
hasil. Akibat atau hasil yang ditimbulkan dari kamma disebut sebagai Kamma
Vipaka.
Dalam
Samuddaka Sutta; Samyutta Nikaya 11.10 {S 1.227}, Guru Buddha menjelaskan cara
bekerjanya kamma : "Sesuai dengan benih yang di tabur, begitulah buah
yang akan dipetiknya. Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan, pembuat
kejahatan akan memetik kejahatan pula. Taburlah biji-biji benih dan engkau
pulalah yang akan merasakan buah daripadanya".
Kelahiran
Kembali
Kelahiran
kembali (Pali : Punabbhava) merupakan 'suatu proses menjadi
ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia
meninggal/mati) sehingga lahir (jati), di mana proses ini merupakan
akibat atau hasil dari kamma (perbuatan)nya pada kehidupan lampau. Proses
menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua
makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah
meninggal/mati.
Dalam
Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling
Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran
kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan
kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan
kehidupan. Jadi makhluk hidup apa pun yang mengalami proses menjadi ada/eksis
atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki
kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan
dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya Tanha
(keinginan/kehausan) dan juga Avijja (ketidaktahuan/kebodohan).
Konsep Ketuhanan
dalam Buddhisme
Perlu
ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha berbeda
dengan konsep dalam agama Samawi di mana alam semesta diciptakan oleh
Tuhan dan tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan
yang kekal.
Ketahuilah
para bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak
akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak
Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada
kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu.
— Sutta
Pitaka, Udana VIII : 3
Ungkapan
di atas adalah pernyataan dari Buddha yang terdapat dalam Sutta Pitaka, Udana
VIII:3, yang merupakan konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama Buddha.
Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatang Abhutang Akatang
Asamkhatang yang artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak
Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan
Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat
dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun.
Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asamkhata) maka
manusia yang berkondisi (samkhata) dapat mencapai kebebasan dari
lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan
membaca konsep Ketuhanan Yang Maha Esa ini, kita dapat melihat bahwa konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha adalah berlainan dengan konsep Ketuhanan yang
diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan konsep tentang Ketuhanan ini perlu
ditekankan di sini, sebab masih banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan
konsep Ketuhanan menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut
agama-agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa konsep
Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep Ketuhanan dalam
agama-agama lain.
Bila
kita mempelajari ajaran agama Buddha seperti yang terdapat dalam kitab suci
Tripitaka, maka bukan hanya konsep Ketuhanan yang berbeda dengan konsep
Ketuhanan dalam agama lain, tetapi banyak konsep lain yang tidak sama pula.
Konsep-konsep agama Buddha yang berlainan dengan konsep-konsep dari agama lain
antara lain adalah konsep-konsep tentang alam
semesta, terbentuknya Bumi dan manusia,
kehidupan manusia di alam semesta, kiamat dan
Keselamatan atau Kebebasan.
Di
dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara
samyak sambodhi) atau pencerahan sejati di mana satu makhluk tidak perlu
lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan
bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat
membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya
merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan
mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas
sebenar-benarnya.
Moralitas dalam
ajaran Buddha
Sebagaimana
agama Kristen,
Islam, dan Hindu, ajaran Buddha
juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemoralan.
Moralitas
dalam ajaran Buddha bertujuan praktis menuntun orang menjuju tujuan akhir
kebahagiaan tertinggi. Dalam jalan umat Buddha menuju pembebasan, setiap
individu dianggap bertanggung jawab untuk keberuntungan dan kemalangannya
sendiri. Setiap individu diharapkan mengupayakan pembebasannya sendiri melalui
pemahaman dan usaha. Keselamatan umat Buddha adalah hasil pemgembangan moral
orang itu sendiri dan tidak dapat diadakan atau diberikan kepada seseorang oleh
suatu perantara eksternal. Misi Sang Budda adalah untuk mencerahkan manusia
akan sifat keberadaan dan untuk menasihatkan bagaimana cara terbaik untuk
kebahagiaan mereka dan keuntungan orang lain. Secara konsekuen, etika umat
Buddha bukan merupakan perintah apa pun yang memaksa manusia untuk
mengikutinya.
Moralitas
bagi umat Buddha dapat dirangkum dalam tiga prinsip sederhana :
"Hindarkan kejahatan; lakukan kebaikan; sucikan pikiran. Inilah nasihat
yang diberikan oleh semua Buddha." (Dhammapada:183)
Lima Sila
(Pancasila)
Nilai-nilai
kemoralan yang diharuskan untuk umat awam umat Buddha biasanya dikenal dengan Pancasila. Kelima nilai-nilai kemoralan untuk
umat awam adalah :
Panatipata
Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Adinnadana
Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Kamesu
Micchacara Veramani Sikhapadami.
Musavada
Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Surameraya
Majjapamadatthana Veramani Sikkhapadam Samadiyami.
Yang
artinya:
Aku
bertekad akan melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
Aku
bertekad akan melatih diri menghindari pencurian/mengambil barang yang tidak
diberikan.
Aku
bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perbuatan asusila.
Aku
bertekad akan melatih diri menghindari melakukan perkataan dusta.
Aku
bertekad akan melatih diri menghindari makanan atau minuman yang dapat
menyebabkan lemahnya kesadaran.
ALIRAN dan
TRADISI Ajaran Buddha
Umat
Buddha secara umum mengklasifikasikan diri mereka sebagai Theravada
atau Mahayana.
Klasifikasi ini juga digunakan oleh beberapa ahli dan merupakan salah satu
penggunaan yang lazim dalam bahasa Inggris.
Buddha Mahayana
Sutra
Teratai merupakan Referensi sampingan penganut Buddha aliran Mahayana.
Tokoh Kwan Im
yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara"
merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa
kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia
diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut
sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi
setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah
menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok
sebagai seorang dewi.
Pemujaan
kepada Buddha Amitabha
(Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana.
Surga Barat merupakan tempat tujuan umat Buddha aliran Sukhavati selepas mereka
meninggal dunia dengan berkat kebaktian mereka terhadap Buddha Amitabha di mana
mereka tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir dan dari sana menolong
semua makhluk hidup yang masih menderita di bumi.
Mereka
mempercayai mereka akan lahir semula di Sorga Barat untuk menunggu saat Buddha
Amitabha memberikan khotbah Dhamma dan Buddha Amitabha akan memimpin mereka ke tahap
mencapai 'Buddhi' (tahap kesempurnaan di mana
kejahilan, kebencian dan ketamakan tidak ada lagi). Ia merupakan pemahaman
Buddha yang paling disukai oleh orang Tionghoa.
Seorang
Buddha bukannya dewa atau makhluk suci yang memberikan kesejahteraan. Semua
Buddha adalah pemimpin segala kehidupan ke arah mencapai kebebasan daripada
kesengsaraan. Hasil amalan ajaran Buddha inilah yang akan membawa kesejahteraan
kepada pengamalnya.
Menurut
Buddha
Gautama , kenikmatan Kesadaran Nirwana yang
dicapainya di bawah pohon Bodhi, tersedia kepada semua makhluk apabila mereka dilahirkan
sebagai manusia. Menekankan konsep ini, aliran Buddha Mahayana
khususnya merujuk kepada banyak Buddha dan juga bodhisattva (makhluk
yang tekad "committed" pada Kesadaran tetapi menangguhkan Nirvana
mereka agar dapat membantu orang lain pada jalan itu). Dalam Tipitaka suci
- intipati teks suci Buddha - tidak terbilang Buddha yang lalu dan hidup mereka
telah disebut "spoken of", termasuk Buddha yang akan datang, Buddha Maitreya
.
Buddha Theravada
Aliran
Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang bertahan
sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Lanka
dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok
bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan
juga sebagian Vietnam.
Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.
Theravada
berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan
vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh
terdahulu , dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti
Ajaran Para Sesepuh.
Istilah
Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka
pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan
sejarah penting yang berasal dari abad ke-5. Diyakini Theravada merupakan wujud
lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa
Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh) , sebuah aliran agama Buddha awal yang
terbentuk pada Sidang Agung Sangha
ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine
of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion
of Reason).
Sejarah
Theravada tidak lepas dari sejarah Buddha Gautama sebagai pendiri agama Buddha.
Setelah Sang Buddha parinibbana (543 SM), tiga
bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
Diadakan
pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan
dipimpin oleh Y.A. Maha Kassapa dan
dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang
diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung
ini adalah Raja Ajatasatu. Tujuan
Sidang adalah menghimpun Ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang
berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar Ajaran
Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan
Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Sidang
Agung Sangha ke-2, pada tahun 443 SM , di mana awal
Buddhisme mulai terbagi menjadi 2. Di satu sisi kelompok yang ingin perubahan
beberapa peraturan minor dalam Vinaya, di sisi lain kelompok yang
mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya
memisahkan diri dan dikenal dengan Mahasanghika yang merupakan cikal bakal
Mahayana. Sedangkan yang mempertahankan Vinaya disebut Sthaviravada.
Sidang
Agung Sangha ke-3 (313 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada. Sidang ini
memutuskan untuk tidak mengubah Vinaya, dan Moggaliputta Tissa
sebagai pimpinan sidang menyelesaikan buku Kathavatthu yang berisi
penyimpangan-penyimpangan dari aliran lain. Saat itu pula Abhidhamma dimasukkan. Setelah
itu ajaran-ajaran ini di tulis dan disahkan oleh sidang. Kemudian Y.M. Mahinda (putra Raja
Asoka) membawa Tipitaka
ini ke Sri Lanka tanpa ada yang hilang sampai sekarang dan menyebarkan Buddha
Dhamma di sana. Di sana ajaran ini dikenal sebagai Theravada.
Kitab
suci yang dipergunakan dalam agama Buddha
Theravada adalah kitab suci Tripitaka
yang dikenal sebagai Kanon Pali (Pali Canon). Kitab suci Agama Buddha yang
paling tua, yang diketahui hingga sekarang, tertulis dalam Bahasa Pali/Magadhi
Kuno, yang terbagi dalam tiga kelompok besar (yang disebut sebagai
"pitaka" atau "keranjang") yaitu: Vinaya
Pitaka, Sutta Piṭaka, dan Abhidhamma
Pitaka. Karena terdiri dari tiga kelompok tersebut, maka Kitab Suci Agama
Buddha dinamakan Tipitaka (Pali).
HARI RAYA
Terdapat
empat hari raya utama dalam agama Buddha. Namun satu-satunya yang dikenal luas
masyarakat adalah Hari Raya Trisuci Waisak, sekaligus
satu-satunya hari raya umat Buddha yang dijadikan hari libur nasional Indonesia
setiap tahunnya.
Waisak
Penganut
Buddha merayakan Hari Waisak yang merupakan peringatan 3 peristiwa.
Yaitu, hari kelahiran Pangeran Siddharta (nama sebelum menjadi Buddha), hari
pencapaian Penerangan Sempurna Pertapa Gautama, dan hari Sang Buddha wafat atau
mencapai Nibbana/Nirwana. Hari Waisak juga dikenal dengan nama Visakah Puja
atau Buddha Purnima di India, Vesak di Malaysia dan Singapura, Visakha Bucha di
Thailand, dan Vesak di Sri Lanka. Nama ini diambil dari bahasa Pali
"Wesakha", yang pada gilirannya juga terkait dengan
"Waishakha" dari bahasa Sanskerta
Kathina
Hari
raya Kathina merupakan upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah
menjalani Vassa. Jadi setelah masa Vassa berakhir, umat Buddha memasuki masa
Kathina atau bulan Kathina. Dalam kesempatan tersebut, selain memberikan
persembahan jubah Kathina, umat Buddha juga berdana kebutuhan pokok para
Bhikkhu, perlengkapan vihara, dan berdana untuk perkembangan dan kemajuan agama
Buddha.
Asadha
Kebaktian
untuk memperingati Hari besar Asadha disebut Asadha Puja / Asalha Puja. Hari
raya Asadha, diperingati 2 (dua) bulan setelah Hari Raya Waisak, guna
memperingati peristiwa di mana Buddha membabarkan Dharma untuk pertama kalinya
kepada 5 orang pertapa (Panca Vagiya) di Taman Rusa Isipatana, pada tahun 588
Sebelum Masehi. Kelima pertapa tersebut adalah Kondanna, Bhadiya, Vappa,
Mahanama dan Asajji, dan sesudah mendengarkan khotbah Dharma, mereka mencapai
arahat. Lima orang pertapa, bekas teman berjuang Buddha dalam bertapa menyiksa
diri di hutan Uruvela merupakan orang-orang yang paling berbahagia, karena
mereka mempunyai kesempatan mendengarkan Dhamma untuk pertama kalinya.
Selanjutnya, bersama dengan Panca Vagghiya Bhikkhu tersebut, Buddha membentuk
Arya Sangha Bhikkhu (Persaudaraan Para Bhikkhu Suci) yang pertama (tahun 588
Sebelum Masehi ). Dengan terbentuknya Sangha, maka Tiratana (Triratna) menjadi
lengkap. Sebelumnya, baru ada Buddha dan Dhamma (yang ditemukan oleh Buddha).
Tiratana
atau Triratna berarti Tiga Mustika, terdiri atas Buddha, Dhamma dan Sangha.
Tiratana merupakan pelindung umat Buddha. Setiap umat Buddha berlindung kepada
Tiratana dengan memanjatkan paritta Tisarana ( Trisarana ). Umat Buddha
berlindung kepada Buddha berarti umat Buddha memilih Buddha sebagai guru dan
teladannya. Umat Buddha berlindung kepada Dhamma berarti umat Buddha yakin
bahwa Dhamma mengandung kebenaran yang bila dilaksanakan akan mencapai akhir
dari dukkha. Umat Buddha berlindung kepada Sangha berarti umat Buddha yakin
bahwa Sangha merupakan pewaris dan pengamal Dhamma yang patut dihormati.
Khotbah
pertama yang disampaikan oleh Buddha pada hari suci Asadha ini dikenal dengan
nama Dhamma Cakka Pavattana Sutta, yang berarti Khotbah Pemutaran Roda Dhamma.
Dalam Khotbah tersebut, Buddha mengajarkan mengenai Empat Kebenaran Mulia( Cattari Ariya Saccani
) yang menjadi landasan pokok Buddha Dhamma.
Magha Puja
Hari
Besar Magha Puja memperingati disabdakannya Ovadha Patimokha, Inti Agama Buddha
dan Etika Pokok para Bhikkhu. Sabda Sang Buddha di hadapan 1.250 Arahat yang
kesemuanya arahat tersebut ditabiskan sendiri oleh Sang Buddha (Ehi
Bhikkhu:Bhikkhu yang ditasbihkan sendiri oleh sang Buddha), yang kehadirannya
itu tanpa diundang dan tanpa ada perjanjian satu dengan yang lain terlebih
dahulu, Sabda Sang Buddha bertempat di Vihara Veluvana, Rajagaha. Tempat ibadah
agama Buddha disebut Vihara.
Sumber - https://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha